Jumat, 06 Januari 2017

Top-Down Analysis dalam Memilih Saham

Analisa Top-down adalah melihat "big picture" suatu perusahaan sebelum memilih saham, khusus bagi investor jangka panjang. Analisa ini dimulai dengan melihat kondisi makroekonomi lebih dulu; seperti tingkat inflasi, nilai tukar mata uang, kebijakan pemerintah dalam suatu sektor ; sebelum melakukan analisa perusahaan secara spesifik.

Contoh kasus:
1. Karena kebijakan pemerintah Jokowi memprioritaskan bidang infrastruktur, maka sektor ini dalam lima tahun akan mengalami uptrend. Saham-saham perusahaan dalam sektor ini, seperti semen, konstruksi, kabel listrik, termasuk pendukungnya, yakni banking sektor, akan prospek (naik) dalam jangka panjang.

2. Karena harga batubara jatuh, maka seluruh perusahaan di sektor batubara akan mengalami penurunan revenue dan penurunan laba. Sehingga harga sahamnya sudah pasti terkoreksi (turun), dan pasar sektor batubara akan bearish.
Saat harga batubara naik lagi, maka pendapatan dan laba perusahaan di sektor ini akan naik lagi, sehingga harga sahamnya akan terkoreksi (naik), dan pasar sektor batubara akan bullish.

Hal ini berlaku juga di sektor komoditas lainnya, seperti minyak, CPO, nikel. Sehingga investasi di sektor komoditas tidak disarankan untuk jangka panjang, karena sifatnya yang siklikal. Setidaknya tiap enam bulan disarankan untuk melakukan top-down analysis di sektor komoditas secara umum untuk mengkaji prospek portofolio kita.

Setelah melihat kondisi makro dan sektornya (top), kemudian menganalisis perusahaan-perusahaan di sektor tersebut untuk memilih saham mana yang paling berpeluang naik harganya dan paling minimal risikonya. Faktor mikro (down), seperti jumlah debt, ROE, PBV, PER dianalisis. Misalnya di sektor batubara, mana di antara ADRO, BUMI, PTBA, HRUM, ITMG, dst; yang terbaik.

[top-down analysis memilih saham]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar